|
Ayat (2)
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "makelar" adalah makelar sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang
diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang
untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan
pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama
orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
Cukup jelas.
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat
kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena
Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke
tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang)
dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali
pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan
terbatas.
|
|
|
Huruf e
|
|
|
|
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aktiva berupa kendaraan bermotor sedan dan
station wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam
pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
|
Angka 3
|
|
Pasal 3A
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
-
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
-
memungut pajak yang terutang;
-
menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar
dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang;
dan
-
melaporkan penghitungan pajak.
Kewajiban di atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
|
|
Ayat (1a)
|
|
|
|
Cukup jelas.
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
Pengusaha kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Apabila pengusaha kecil memilih menjadi Pengusaha Kena
Pajak, Undang-Undang ini berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil
tersebut.
|
|
|
Ayat (3)
|
|
|
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
|
Angka 4
|
|
Pasal 4
|
|
|
Pasal 4
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
|
|
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak
meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan
barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
-
barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
Pajak;
-
barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud;
-
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
-
penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
|
|
|
|
|
Huruf b
|
|
|
|
|
|
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak.
Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda
dengan penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapapun yang memasukkan
Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan
dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai
pajak.
|
|
|
|
|
Huruf c
|
|
|
|
|
|
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak
meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) maupun pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan
jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
-
jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
-
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
-
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah
Jasa Kena Pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang
diberikan secara cuma-cuma.
|
|
|
|
|
Huruf d
|
|
|
|
|
|
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama
dengan impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang
berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah
Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Contoh: Pengusaha A yang
berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki Pengusaha
B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha
A di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
|
|
|
Huruf e
|
|
|
|
|
|
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan
oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan
Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak C di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena
Pajak dari Pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa
Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
|
|
|
Huruf f
|
|
|
|
|
|
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
|
|
|
|
|
Huruf g
|
|
|
|
|
|
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud hanya
pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1). Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud" adalah:
-
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang
kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana,
formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
-
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan
industrial, komersial, atau ilmiah;
-
pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah,
teknikal, industrial, atau komersial;
-
pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau
hak menggunakan peralatan/ perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
a)
|
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara
atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
|
b)
|
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan
melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
dan
|
c)
|
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum
radio komunikasi;
|
-
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita
suara untuk siaran radio; dan
-
pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak
lainnya sebagaimana tersebut di atas.
|
|
|
|
|
Huruf h
|
|
|
|
|
|
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah
penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari
pemesan di luar Daerah Pabean.
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
Cukup jelas.
|
Angka 5
|
|
|
Pasal 4A
|
|
|
|
Ayat (1)
|
|
|
|
|
Cukup jelas.
|
|
|
|
Ayat (2)
|
|
|
|
|
Huruf a
|
|
|
|
|
|
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya meliputi:
-
minyak mentah (crude oil);
-
gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap
dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
-
panas bumi;
-
asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu
apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite),
grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer,
nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat
(phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas
(alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
-
batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
-
bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih
nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
|
|
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh
rakyat banyak meliputi:
- beras;
- gabah;
- jagung;
- sagu;
- kedelai;
- garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
- daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus;
- telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
- susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas;
-
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang
telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
-
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci,
ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
|
|
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan
pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah. |
|
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
|
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:
- jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
- jasa dokter hewan;
- jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi;
- jasa kebidanan dan dukun bayi;
- jasa paramedis dan perawat;
- jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan,
dan sanatorium;
- jasa psikolog dan psikiater; dan
- jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh
paranormal.
|
|
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
|
Jasa pelayanan sosial meliputi:
- jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
- jasa pemadam kebakaran;
- jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
- jasa lembaga rehabilitasi;
- jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
- jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat
komersial.
|
|
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
|
Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman
surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti
perangko tempel.
|
|
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
|
Jasa keuangan meliputi:
-
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu;
-
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana
kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan
wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
- jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa:
a) sewa guna usaha dengan hak opsi; b) anjak piutang; c) usaha
kartu kredit; dan/atau d) pembiayaan konsumen;
- jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusia; dan
- jasa penjaminan.
|
|
|
|
|
Huruf e |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "jasa asuransi" adalah jasa pertanggungan
yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan
oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa
penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan
konsultan asuransi.
|
|
|
|
|
Huruf f |
|
|
|
|
|
Jasa keagamaan meliputi:
- jasa pelayanan rumah ibadah;
- jasa pemberian khotbah atau dakwah;
- jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
- jasa lainnya di bidang keagamaan.
|
|
|
|
|
Huruf g |
|
|
|
|
|
Jasa pendidikan meliputi:
-
jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa,
pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional; dan
- jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
|
|
|
|
|
Huruf h |
|
|
|
|
|
Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa
yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan. |
|
|
|
|
Huruf i |
|
|
|
|
|
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa
penyiaran radio atau televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau
swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan
komersial.
|
|
|
|
|
Huruf j |
|
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Huruf k |
|
|
|
|
|
Jasa tenaga kerja meliputi:
- jasa tenaga kerja;
-
jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia
tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja
tersebut; dan
- jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
|
|
|
|
|
Huruf l |
|
|
|
|
|
Jasa perhotelan meliputi:
- jasa penyewaan kamar, termasuk
tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan
untuk tamu yang menginap; dan
- jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel.
|
|
|
|
|
Huruf m |
|
|
|
|
|
Jasa yang disediakan oleh pemerintah
dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jenis-jenis jasa yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan
Bangunan, pemberian lzin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak,
dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk. |
|
|
|
|
Huruf n |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "jasa penyediaan
tempat parkir" adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik
tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan dipungut
bayaran. |
|
|
|
|
Huruf o |
|
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan "jasa telepon umum
dengan menggunakan uang logam" adalah jasa telepon umum dengan menggunakan uang
logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. |
|
|
|
|
Huruf p |
|
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
|
Huruf q |
|
|
|
|
|
Cukup jelas. |
Angka 6 |
|
Pasal 5 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah, di samping dikenai Pajak Pertambahan Nilai, dikenai juga Pajak Penjualan
atas Barang Mewah dengan pertimbangan bahwa:
- perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
- perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah;
- perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
- perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak yang tergolong mewah" adalah:
- barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
- barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
- barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi;
dan/atau
- barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak
tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara
terus-menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut
telah dikenai atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada
transaksi sebelumnya. Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan pada ayat
ini adalah kegiatan:
- merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik,
dan perabot rumah tangga;
- memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan
lain maupun tidak;
- mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan
satu atau lebih barang lain;
- mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk
melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan
- membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang
ditutup menurut cara tertentu;
serta kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu atau menyuruh
orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. |
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya
berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas
Barang Mewah. Oleh karena itu, Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah
dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang. Dengan demikian, prinsip pemungutannya hanya 1 (satu) kali saja,
yaitu pada waktu:
- penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah; atau
- impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah. |
Angka 7 |
|
Pasal 5A |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan
ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut
mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang
oleh Pengusaha Kena Pajak penjual dan mengurangi:
- Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan
atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
- biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas
Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah
dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga
perolehan harta tersebut; atau
- biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal
pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai
biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta
tersebut.
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Yang dimaksud dengan "Jasa Kena Pajak yang
dibatalkan" adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau
kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak. Dalam hal Jasa Kena Pajak yang
diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh penerima
Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan
tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak
pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:
- Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal
Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
- biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam
hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak
dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
- biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena
Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan
tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi)
dalam harga perolehan harta tersebut.
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Cukup jelas. |
Angka 8 |
|
Pasal 7 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena
itu,
- Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
- Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan
di luar Daerah Pabean; atau
- Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak
atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan
di luar Daerah Pabean,
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan
tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut
dapat dikreditkan. |
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Berdasarkan pertimbangan perkembangan
ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi
wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% (lima
persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip
tarif tunggal. Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan
oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
Angka 9 |
|
Pasal 8 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Perbedaan kelompok
tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1). |
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah
pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah di
dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dengan tarif 0% (nol persen). Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang
diekspor tersebut dapat diminta kembali. |
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1), pengelompokan barang-barang yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat
kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping
didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya. Sehubungan dengan
hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh
masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Dalam hal terhadap barang yang dikonsumsi
oleh masyarakat banyak perlu dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tarif
yang dipergunakan adalah tarif yang rendah. Pengelompokan barang yang dikenai
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan. |
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
Cukup jelas. |
Angka 10 |
|
Pasal 8A |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Ayat ini mengatur cara menghitung Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang. Untuk jelasnya diberikan contoh cara
penghitungan sebagai berikut. Contoh:
- Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual
Rp25.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x
Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00 Pajak Pertambahan Nilai sebesar
Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha
Kena Pajak A.
-
Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak
dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai
sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak B.
- Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai
Impor Rp15.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
- Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai
Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x
Rp10.000.000,00 = Rp0,00. Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut
merupakan Pajak Keluaran.
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin
rasa keadilan dalam hal:
- Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar
ditetapkan; dan/atau
- penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti
air minum dan listrik.
|
Angka 11 |
|
Pasal 9 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor
Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari
luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti
pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut
merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena
Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena
Pajak. Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang
sama.
|
|
|
Ayat (2a) |
|
|
|
Pada dasarnya Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran
pada Masa Pajak yang sama. Namun, bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum
berproduksi, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal
diperkenankan untuk dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2),
kecuali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
|
|
|
Ayat (2b) |
|
|
|
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena
Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (5). Selain itu, Pajak Masukan yang akan dikreditkan juga
harus memenuhi persyaratan kebenaran formal dan material sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (9).
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan. Dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak
Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan,
tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. Contoh:
Masa Pajak Mei 2010 |
|
Pajak Keluaran |
= |
Rp2.000.000,00 |
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan |
= |
Rp4.500.000,00 |
|
|
------------------------(-) |
Pajak yang lebih dibayar |
= |
Rp2.500.000,00 |
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikanke
Masa Pajak Juni 2010. |
Masa Pajak Juni 2010 |
|
|
Pajak Keluaran |
= |
Rp3.000.000,00 |
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan |
= |
Rp2.000.000,00 |
|
|
------------------------(-) |
Pajak yang kurang dibayar |
= |
Rp1.000.000,00 |
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010
yang dikompensasikan ke |
Masa Pajak Juni 2010 |
= |
Rp2.500.000,00 |
|
|
------------------------(-) |
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak |
|
|
Juni 2010 |
= |
Rp1.500.000,00 |
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak
Juli 2010. |
|
|
|
Ayat (4a) |
|
|
|
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya. Namun,
apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku,
kelebihan Pajak Masukan tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian
(restitusi). Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini
adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha
(bubar).
|
|
|
Ayat (4b) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4c) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4d) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4e) |
|
|
|
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan
pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak.
|
|
|
Ayat (4f) |
|
|
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya
tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Sebaliknya, sanksi
administrasi yang dikenakan adalah bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Apabila dalam pemeriksaan
dimaksud ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, ketentuan
ini tidak berlaku.
|
|
|
Ayat (5) |
|
|
|
Yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" adalah
penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini
dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak
terutang pajak" adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16B. Pengusaha Kena Pajak yang dalam suatu Masa Pajak melakukan penyerahan
yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak hanya dapat
mengkreditkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang
pajak. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui
dengan pasti dari pembukuan Pengusaha Kena Pajak. Contoh: Pengusaha Kena
Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
- penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00 Pajak Keluaran =
Rp2.500.000,00
- penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
Pajak Keluaran = nihil
- penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai =
Rp5.000.000,00 Pajak Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan:
- Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
terutang pajak = Rp1.500.000,00
- Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
- Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
Menurut ketentuan ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran sebesar Rp2.500.000,00 hanya sebesar Rp1.500.000,00. |
|
|
Ayat (6) |
|
|
|
Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak
tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung
berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, yang
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena
Pajak. Contoh: Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan,
yaitu:
-
penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00 Pajak Keluaran
= Rp3.500.000,00
-
penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00 Pajak
Keluaran = nihil
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan
Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar
Rp2.500.000,00, sedangkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini,
Pajak Masukan sebesar Rp2 .500.000,00 tidak seluruhnya dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran sebesar Rp3.500.000,00. Besarnya Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
|
|
|
Ayat (6a) |
|
|
|
Agar dapat dikreditkan, Pajak
Masukan atas pengeluaran dalam rangka impor dan/atau perolehan barang modal juga
harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut harus berhubungan dengan adanya
penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal Pengusaha Kena
Pajak mengalami keadaan gagal berproduksi, tidak ada penyerahan yang terutang
pajak sehingga tidak ada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Oleh karena itu,
sebagai konsekuensinya, Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal
yang telah dikembalikan harus dibayar kembali. |
|
|
Ayat (6b) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (7) |
|
|
|
Dalam rangka menyederhanakan
penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha Kena Pajak
yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu
dapat menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. |
|
|
Ayat (7a) |
|
|
|
Dalam rangka memberikan
kemudahan dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor, Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu menghitung besarnya Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan. |
|
|
Ayat (7b) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (8) |
|
|
|
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan.
|
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan
yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak
dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku
surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan yang diperoleh sebelum tanggal
19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan ini.
|
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan
dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar
dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran
tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya
hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan
tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada
kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
Ketentuan ini memberikan kepastian hukum bahwa Pajak Masukan
yang diperoleh sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak
dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha A melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada tanggal 19 April 2010. Pengukuhan
sebagai Pengusaha Kena Pajak diberikan pada tanggal 20 April 2010 dan berlaku
surut sejak tanggal 19 April 2010. Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang diperoleh
sebelum tanggal 19 April 2010 tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan
ini.
|
|
|
|
Huruf e |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf f |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf g |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf h |
|
|
|
|
Dalam hal tertentu dapat
terjadi Pengusaha Kena Pajak baru membayar Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
atas perolehan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak setelah
diterbitkan ketetapan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas ketetapan
pajak tersebut tidak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. |
|
|
|
Huruf i |
|
|
|
|
Sesuai dengan sistem self
assessment, Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, kepada
Pengusaha Kena Pajak juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga sudah selayaknya jika
Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan. Contoh: Dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pertambahan Nilai dilaporkan: Pajak Pajak Keluaran =
Rp10.000.000,00 Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00 Dari hasil pemeriksaan
diketahui: Pajak Keluaran = Rp15.000.000,00 Pajak Masukan =
Rp11.000.000,00 Dalam hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak
sebesar Rp11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp8.000.000,00 sesuai dengan yang
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Dengan
demikian, perhitungan hasil pemeriksaan
Pajak Keluaran |
= |
Rp15.000.000,00 |
Pajak Masukan |
= |
Rp 8.000.000,00 |
|
|
-------------------------(-) |
Kurang Bayar menurut |
hasil pemeriksaan |
= |
Rp 7.000.000,00 |
Kurang Bayar menurut |
|
|
Surat Pemberitahuan |
= |
Rp 2.000.000,00 |
|
|
--------------------------(-) |
Masih kurang dibayar |
= |
Rp 5.000.000,00 |
|
|
|
|
Huruf j |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (9) |
|
|
|
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk
mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak
sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan
Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan
dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah
dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui
pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan.
Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan
yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan
(dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan
pemeriksaan. Contoh: Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang
Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran
pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak
Oktober 2010.
|
|
|
Ayat (10) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (11) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (12) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (13) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (14) |
|
|
|
Cukup jelas. |
Angka 12 |
|
Pasal 11 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas
penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat
impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan
melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.
|
|
|
|
Huruf a |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf b |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf c |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf d |
|
|
|
|
Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di
dalam Daerah Pabean. Hal itu dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah
Pabean sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena
itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi
dikaitkan dengan saat pemanfaatan.
|
|
|
|
Huruf e |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf f |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf g |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
|
Huruf h |
|
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, sebelum penyerahan
Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, atau sebelum dimulainya
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e, saat terutangnya pajak adalah saat
pembayaran.
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (5) |
|
|
|
Cukup jelas. |
Angka 13 |
|
Pasal 12 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Pengusaha Kena Pajak orang pribadi terutang pajak di tempat
tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak
badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila
Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar
tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat
terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Apabila Pengusaha Kena Pajak
mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1
(satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut,
Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat
pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya,
kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak tersebut menghendaki lebih dari 1 (satu)
tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak. Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang. Contoh 1: Orang pribadi A
yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat
tinggal orang pribadi A tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak, orang pribadi A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibinong sebab
tempat terutangnya pajak bagi orang pribadi A adalah di Cibinong. Sebaliknya,
apabila penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan oleh
orang pribadi A hanya di tempat tinggalnya saja, orang pribadi A hanya wajib
mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor. Namun, apabila baik
di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya orang pribadi A melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, orang pribadi A wajib
mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bogor dan Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan
Cibinong. Berbeda dengan orang pribadi, Pengusaha Kena Pajak badan wajib
mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha
karena bagi Pengusaha Kena Pajak badan di kedua tempat tersebut dianggap
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Contoh
2: PT A mempunyai 3 (tiga) tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu,
Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan 1 (satu) kantor
pelayanan pajak, yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu. Ketiga tempat
kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan
sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan
demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan
usahanya guna dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya tempat kegiatan
usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini
bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh
ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut. Dalam hal PT A menghendaki
tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak
terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bengkulu.
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Apabila Pengusaha Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari 1
(satu) tempat kegiatan usaha, Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat
terutangnya pajak.
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
Orang pribadi atau badan baik sebagai Pengusaha Kena Pajak
maupun bukan Pengusaha Kena Pajak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan/atau memanfaatkan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tetap terutang
pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha orang pribadi atau di
tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha badan tersebut.
|
Angka 14 |
|
Pasal 13 |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak.
Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur
penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang
ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan
ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang
menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16D wajib diterbitkan Faktur Pajak.
|
|
|
Ayat (1a) |
|
|
|
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat
pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran
terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan
Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur
saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak. |
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan
untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena
Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan
kalender kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang
disebut Faktur Pajak gabungan.
|
|
|
Ayat (2a) |
|
|
|
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak
diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di
dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun
seluruhnya. Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12,
20, 25, 28, dan 31 Juli 2010, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2010 sama
sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A
diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh
penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli, yaitu paling lama tanggal 31 Juli
2010. Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30
September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran oleh
pengusaha B atas penyerahan tanggal 2 September 2010. Dalam hal Pengusaha Kena
Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada
tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada
bulan September. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28,
29, dan 30 September 2010. Pada tanggal 28 September 2010 terdapat pembayaran
atas penyerahan tanggal 2 September 2010 dan pembayaran uang muka untuk
penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2010 oleh pengusaha B. Dalam
hal Pengusaha Kena Pajak A menerbitkan Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak
gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2010 yang meliputi seluruh penyerahan
dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September.
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (5) |
|
|
|
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan
sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus disi secara
lengkap, jelas, dan benar serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah hanya disi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak
terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak disi sesuai
dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang
tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf f.
|
|
|
Ayat (6) |
|
|
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam
dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini
diperlukan, antara lain, karena:
-
faktur penjualan yang digunakan oleh pengusahatelah dikenal
oleh masyarakat luas, sepertikuitansi pembayaran telepon dan tiket
pesawatudara;
-
untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak,
sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah
Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
- terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud.
|
|
|
Ayat (7) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (8) |
|
|
|
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak
yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian
salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah, antara lain, adanya
penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena
Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.
|
|
|
Ayat (9) |
|
|
|
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila disi secara
lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang
kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material
apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan
demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah
dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur
Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur
Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak
tersebut tidak memenuhi syarat material.
|
Angka 15 |
|
Pasal 15A |
|
|
Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada Pengusaha Kena
Pajak untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pasal ini mengatur secara khusus
mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai yang berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. Dalam hal terjadi keterlambatan
pembayaran pajak terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai dan/atau keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal ini, Pengusaha
Kena Pajak tetap dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
|
Angka 16 |
|
Pasal 16B |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam
Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang
sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan
perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
diberikannya kemudahan tersebut. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan
pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar
diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas
tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan
daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan
nasional. Kemudahan perpajakan yang diatur dalam Pasal ini diberikan terbatas
untuk:
-
mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat
Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang
dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
-
menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam
bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah
diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
-
mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan
vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;
-
menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional
Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk
melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun
internal;
-
menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik
Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung
pertahanan nasional;
-
meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu
tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan
harga yang relatif terjangkau masyarakat;
-
mendorong pembangunan tempat ibadah;
-
menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh
masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan
rumah susun sederhana;
-
mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan
darat, air, dan udara;
-
mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya
barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
-
menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan
hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
-
mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang
Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
-
membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai
bencana alam nasional;
-
menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
-
menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong
kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak
tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara
volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang
tersedia sangat tinggi.
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan
dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat
perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak
Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Contoh: Pengusaha
Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut tidak dipungut selamanya (tidak sekadar ditunda). Untuk memproduksi
Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A menggunakan Barang Kena Pajak
lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal,
ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu membeli Barang Kena Pajak
lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak
Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Jika Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran,
Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak
Keluaran tersebut nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak
dipungut dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus
berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak
adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut
tidak dapat dikreditkan. Contoh: Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang
Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang
Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk
memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan
Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan
pembantu, barang modal, ataupun sebagai komponen biaya lain. Pada waktu
membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena
Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang
menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
tersebut. Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya
fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
|
Angka 17 |
|
Pasal 16 D |
|
|
Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin,
bangunan, peralatan, perabotan, atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai
pajak. Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang
Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan
pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu
kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal
9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut
tidak dapat dikreditkan.
|
Angka 18 |
|
Pasal 16E |
|
|
Ayat (1) |
|
|
|
Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri
untuk berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif
perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena
Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar
Daerah Pabean.
|
|
|
Ayat (2) |
|
|
|
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia
dianggap akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak
yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi
pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia. Bagi orang pribadi
pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Faktur
Pajak yang dapat dipergunakan untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah harus mencantumkan identitas berupa nama,
nomor paspor, dan alamat lengkap orang pribadi tersebut di negara yang
menerbitkan paspor.
|
|
|
Ayat (3) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (4) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
|
Ayat (5) |
|
|
|
Cukup jelas. |
|
Pasal 16F |
|
|
Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah
pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah
seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung
jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak
yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan
pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.
|
|
|
|
|
|