UMUM
Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan penegasan dan penjelasan lebih
lanjut serta untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai, antara lain mengenai tanggung jawab renteng pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai, pemakaian sendiri, saat penerbitan Faktur Pajak,
rincian barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, pengertian
barang modal yang terkait dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena
Pajak yang belum berproduksi, dan pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang
eceran.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 16F Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai, pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
bertanggung jawab secara renteng terhadap pembayaran Pajak Pertambahan Nilai.
Namun demikian, pengaturan tanggung jawab secara renteng belum diatur secara
jelas sehingga perlu diatur norma umum dan persyaratan mengenai tanggung jawab
renteng dalam Peraturan Pemerintah ini.
Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi bagi Pengusaha
Kena Pajak, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa atas pemakaian sendiri
Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang terutang
Pajak Pertambahan Nilai tidak perlu dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
dan penerbitan Faktur Pajak. Sebaliknya, untuk pemakaian sendiri Barang Kena
Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif, Pengusaha Kena Pajak
wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan di bidang perpajakan.
Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai masih bersifat umum, sehingga perlu diatur lebih lanjut
mengenai kriteria dan/atau rincian jenis barang dan jasa yang tidak dikenai
Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum
dalam menentukan jenis barang dan jasa yang bukan merupakan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi hanya dapat
mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan dan/ atau impor barang modal. Dalam
rangka memberikan kepastian hukum dan memperhatikan aspek keadilan, Peraturan
Pemerintah ini mengatur bahwa barang modal mencakup seluruh harta berwujud yang
memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan berlaku untuk semua jenis
kegiatan usaha.
Saat terutangnya pajak merupakan hal yang penting untuk
menentukan waktu bagi Pengusaha Kena Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak. Saat
penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak sangat bervariasi
sehingga perlu penjelasan dan penegasan untuk menghindari terjadinya multitafsir
dan ketidakpastian hukum. Penegasan dimaksud dibuat selaras dengan praktik
bisnis yang lazim dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Untuk memberikan keseimbangan dalam pemenuhan kewajiban Pajak
Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak penjual dan Pengusaha Kena Pajak
pembeli, sudah selayaknya Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak diperkenankan untuk
mengkreditkan Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya diterbitkan setelah melebihi
jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat terutangnya pajak. Ketentuan ini
dimaksudkan agar Pengusaha Kena Pajak pembeli ikut mengawasi Pengusaha Kena
Pajak penjual untuk menerbitkan Faktur Pajak secara tepat waktu.
Pengusaha Kena Pajak yang bukan pedagang eceran tetapi
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak secara eceran
akan mengalami kesulitan dalam menerbitkan Faktur Pajak apabila diperlakukan
sama dengan Pengusaha Kena Pajak pada umumnya yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak tidak secara eceran. Untuk itu, perlu
diberikan penegasan dan penjelasan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
penyerahan dengan karakteristik secara eceran termasuk dalam pengertian
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. Termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena
Pajak pedagang eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan jasa
secara eceran.
Substansi pengaturan atas pemberian fasilitas Pajak Pertambahan
Nilai tidak dipungut untuk impor Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari
bea masuk sudah tidak diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya
fasilitas tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus
tentang fasilitas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, dalam rangka
memberikan kepastian hukum, pemberian fasilitas tersebut yang selama ini diatur
dalam peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Pemerintah
Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 masih tetap
berlaku sampai dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian
fasilitas dimaksud diterbitkan.
Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak dalam
menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
maka ketentuan penerbitan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat
(1) dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 1 April 2010,
yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan
Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas
antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol
persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif dan lancar, sudah
sewajarnya apabila pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena
Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint
operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT ABC
dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk
melaksanakan proyek tersebut, PT ABC
dan PT DEF membentuk joint
operation.
Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur
bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint
operation.
Berdasarkan hal di atas:
-
joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
-
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur
Pajak;
-
apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT
DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan
(pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT
ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus
membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur
Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).
Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak
wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT X dan PT Y membuat
perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan
proyek tersebut, PT X dan
PT Y membentuk joint operation.
Namun demikian,
dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian
kerja sama dengan
pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya
dilakukan atas nama PT X.
Karena joint operation secara nyata tidak melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka
dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Pasal 4
Ayat (1)
Tanggung renteng melekat pada
pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atas transaksi pembelian
Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Pemakaian
sendiri Barang Kena Pajak" adalah pemakaian Barang Kena Pajak untuk kepentingan
pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri
maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Jasa
Kena Pajak" adalah pemakaian Jasa Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
"Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
produktif' adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan
yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang
bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen.
Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif' adalah pemakaian Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak ada kaitan dengan kegiatan produksi
selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Contoh pemakaian sendiri Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak:
- Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
konsumtif:
1) |
Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya
untuk konsumsi karyawan atau para tamu. |
2) |
Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo
merek sepatu pabrik tersebut dan sebagian dibagikan kepada
karyawannya.
|
3) |
Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas
bebas biaya telepon selular kepada para direksinya. |
-
Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk
tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan yang mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan:
1) |
Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang
diproduksinya untuk kegiatan usaha mengangkut suku cadang. |
2) |
Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit
dari inti sawit sebagai pengeras jalan di lingkungan pabrik.
|
3) |
Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk
kegiatan operasional perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra
bisnisnya.
|
-
Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk
tujuan produktif yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:
1) |
Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit
dari inti sawit sebagai bahan pembakaran boiler dalam proses
pabrikasi.
|
2) |
Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya
berupa kayu lapis (plywood) untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan
dipasarkan agar tidak rusak.
|
3) |
Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran
teleponnya untuk melakukan penyerahan jasa provider intemet kepada
konsumennya.
|
Ayat (3)
Transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif
terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi
kepada Pengusaha Kena Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak
dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi tersebut diberikan
karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas
pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal pemakaian sendiri
digunakan untuk kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai atau mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai. Perlakuan ini diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri merupakan Pajak
Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Contoh pemakaian sendiri untuk tujuan
produktif:
Pabrikan ban menggunakan produksi ban sendiri untuk:
a. truk
yang digunakan untuk pengangkutan ban produksinya; dan
b. kendaraan angkutan
umumnya.
Atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud
pada contoh huruf a tidak dilakukan pemungutan Pajak
Pertambahan
Nilai.
Namun demikian, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif
sebagaimana dimaksud pada contoh huruf b tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai,
karena digunakan untuk penyerahan jasa angkutan umum yang merupakan penyerahan
yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (4)
Dalam hal Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena
Pajak yang dipakai sendiri tidak termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak dan/
atau Jasa Kena Pajak yang dibebaskan, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas
perolehan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak tersebut merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.
Dengan demikian apabila yang dipakai sendiri
adalah Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai yang
dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan
.Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
Demikian juga apabila barang
dan/atau jasa yang dipakai sendiri termasuk dalam jenis bukan Barang Kena Pajak
dan/atau bukan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas
perolehan barang dan/ atau jasa tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak
dapat dikreditkan.
Pasal 6
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang
pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1) jasa yang diserahkan
merupakan Jasa Kena Pajak;
2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
dan
3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,
maka
terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus
dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak.
Contoh
1:
A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di
Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not
balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not
balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang
Pajak Pertambahan
Nilai.
Contoh 2:
Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana
memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di
Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan
oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal
7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal
9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Pengusaha
Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya, dan atas perolehannya telah
dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya.
Dengan demikian, Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah termasuk dalam Dasar Pengenaan Pajak.
Contoh:
PT A
merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang
akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A
telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar
Rp350.000,00.
Apabila harga produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan
keuntungan yang diinginkan PT A sebesar Rp40.000.000,00 maka Harga Jual mobil
tersebut sebesar Rp150.350.000,00. Dengan demikian Dasar Pengenaan Pajak atas
mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Pajak yang terutang atas
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut:
- Pajak Pertambahan Nilai
= 10% X Rp150.350.000,00 = Rp15.035.000,00
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah (tarif 20%)
= 20% X Rp150.350.000,00 =
Rp30.070.000,00
Ayat (3)
Contoh 1:
PT X yang menghasilkan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT A dengan
Harga Jual sebesar Rp100.000.000,00. Atas penjualan tersebut dikenai Pajak
Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 20%.
Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
(sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 20%) yang dikenakan
atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar
oleh PT A adalah sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak (Harga Jual) |
= Rp |
100.000.000,00 |
|
Pajak Pertambahan Nilai |
= Rp |
10.000.000,00 |
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah |
= Rp |
20.000.000,00 |
|
|
|
_______________ |
+ |
Jumlah yang dibayar oleh PT A |
= Rp |
130.000.000,00 |
|
Contoh 2:
PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp200.000.000,00. Atas impor tersebut dikenai
Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebesar 30%. Dasar Pengenaan Pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah tersebut adalah sebesar Rp200.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 30%) yang
dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang
dibayar oleh PT C adalah sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak (Nilai Impor) |
=Rp |
200.000.000,00 |
|
Pajak Pertambahan Nilai |
=Rp |
20.000.000,00 |
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah |
=Rp |
60.000.000,00 |
|
|
|
_____________ |
+ |
Jumlah yang dibayar oleh PT C |
=Rp |
280.000.000,00 |
|
Ayat (4)
Contoh 1:
Kelanjutan dari contoh 1 sebagaimana
dimaksud pada Penjelasan ayat (3), PT A menjual Barang Kena Pajak tersebut
kepada PT B dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp15.000.000,00. Dasar
Pengenaan Pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian,
jumlah yang dibayar oleh PT B adalah sebagai berikut:
Harga beli PT A |
= Rp |
1 00.000.000,00 |
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar |
= Rp |
20.000.000,00 |
|
Keuntungan yang diharapkan |
= Rp |
15.000.000,00 |
|
|
|
_______________ |
+ |
Dasar Pengenaan Pajak |
= Rp |
135.000.000,00 |
|
|
|
|
|
Pajak Pertambahan Nilai 10% x Rp135.000.000,00 |
= Rp |
13.500.000,00 |
|
|
|
_______________ |
+ |
Jumlah yang dibayar oleh PT B |
= Rp |
148.500.000,00 |
|
Contoh 2 :
Kelanjutan dari contoh 2 sebagaimana dimaksud
pada Penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D
dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak
atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar
atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh
PT D adalah sebagai berikut:
Nilai Impor PT C |
= Rp |
200.000.000,00 |
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar |
= Rp |
60.000.000,00 |
|
Keuntungan yang diharapkan |
= Rp |
40.000.000,00 |
|
|
|
_______________ |
+ |
Dasar Pengenaan Pajak |
= Rp |
300.000.000 |
|
|
|
|
|
Pajak Pertambahan Nilai 10% x Rp300.000.000,00 |
= Rp |
30.000.000,00 |
|
|
|
_______________ |
+ |
Jumlah yang dibayar oleh PT D |
= Rp |
330.000.000,00 |
|
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Contoh:
Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis bahwa
dalam nilai kontrak sebesar Rp130.000.000,00 secara tegas dinyatakan sudah
termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (sebesar 20%), penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah menurut ayat ini adalah sebagai berikut:
Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang =
10 |
|
|
|
_________ X |
Rp130.000.000,00 |
= Rp |
10.000.000,00 |
110+20 |
|
|
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang =
20 |
|
|
|
_________ X |
Rp130.000.000,00 |
= Rp |
20.000.000,00 |
110+20 |
|
|
|
Ayat (3)
Sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2),
apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas
bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah termasuk
dalam nilai kontrak, besarnya Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak
Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp130.000.000,00. Sehingga penghitungan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak |
= Rp |
130.000.000,00 |
Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% (10% x
Rp130.000.000,00) |
= Rp |
13.000.000,00 |
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif 20% (20% x
Rp130.000.000,00) |
= Rp |
26.000.000,00 |
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan "t" adalah besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
Ayat (3)
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui:
Harga Jual |
= Rp |
10.000.000,00 |
Dasar Pengenaan Pajak dalam contoh ini adalah |
= Rp |
10.000.000,00 |
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang (10% x
Rp10.000.000,00) |
= Rp |
1.000.000,00 |
Apabila atas penyerahan tersebut juga terutang Pajak Penjualan
atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20%, maka Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang terutang adalah 20% x Rp10.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal
12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "piutang" adalah piutang dagang
yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena
Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dalam hal piutang yang timbul karena penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dihapuskan, penghapusan
tersebut tidak mempunyai akibat terhadap konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak tersebut.
Oleh karena itu, bagi Pengusaha Kena Pajak penjual
yang menghapuskan piutangnya tidak perlu melakukan penyesuaian atas Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah yang telah dilaporkan.
Sementara bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli yang
menikmati penghapusan piutangnya tidak perlu melakukan penyesuaian Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas
Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai
biaya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan kahar" atau force
majeure adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak
dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Yang termasuk kategori keadaan kahar
atau force majeure adalah peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam,
pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh
pejabat/instansi yang berwenang.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk
dalam pengertian pembeli barang dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai dalam hal transaksi penyerahan Barang Kena Pajak kepada
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian
penerima jasa dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dalam
hal transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat
(1)
Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di tempat Pengusaha Kena Pajak
dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi
ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum
dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum
dalam Surat Keputusan Pengukuhan.
Dalam hal Pengusaha melakukan impor Barang
Kena Pajak dan tempat melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak, tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor
Barang Kena Pajak adalah di tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena
Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan lagi sebagai Pengusaha Kena Pajak di
tempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor.
Contoh:
PT A dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak di Jakarta, melakukan impor di Surabaya. Pajak Masukan atas
impor Barang Kena Pajak dikreditkan di tempat pengusaha dikukuhkan di Jakarta.
Atas impor ini PT A tidak perlu lagi dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di
Surabaya.
Ayat (2)
Pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak dilebih dari satu tempat kegiatan usaha dapat memilih salah satu tempat
sebagai tempat pengkreditan atas impor Barang Kena Pajak dengan permohonan
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A
yang kantor pusatnya di Jakarta dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di kota Surakarta dan
terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Surakarta. Pemberitahuan Impor Barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak
menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak kantor pusat di Jakarta. Dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Surakarta dapat mengkreditkan
Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor tersebut.
Direktur Jenderal
Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya
impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan
ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak
Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat
(2)
Ketentuan mengenai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun untuk barang
modal mengacu pada ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Pajak
Penghasilan yang pembebanannya sebagai biaya dalam penghitungan Pajak
Penghasilan harus melalui penyusutan. Pajak Masukan atas impor dan/ atau
perolehan barang modal tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak membeli barang modal berupa
mesin dari luar Daerah Pabean. Untuk pemasangannya, Pengusaha Kena Pajak
memanfaatkan jasa pemasangan dari Pengusaha Kena Pajak lain di dalam Daerah
Pabean. Pembayaran atas jasa pemasangan yang dikapitalisasi ke dalam harga
perolehan mesin tersebut merupakan pengeluaran yang Pajak Masukannya
dapatdikreditkan.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak
Masukan atas perolehan dan/ atau impor barang modal bagi Pengusaha Kena Pajak
yang belum berproduksi berlaku untuk seluruh kegiatan usaha yang meliputi
kegiatan industri atau manufaktur, kegiatan usaha perdagangan, kegiatan usaha
jasa, dan kegiatan usaha lainnya.
Pasal 17
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf
a
Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mensinkronisasikan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai
atau Pajak PertambahanNilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan praktik
yang lazim terjadi dalam kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan
atau pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan
secara konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.
Dalam praktik kegiatan usaha dan
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka:
-
penyerahan barang bergerak dapat terjadi pada saat barang
tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan
maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Karena itu
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah terutang pada saat hak penguasaan barang telah berpindah kepada
pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli.
-
Perpindahan hak penguasaan atas barang bisa juga terjadi pada
saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang
diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan, atau
pihak ketiga lainnya. Oleh karena itu, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang pada saat
barang diserahkan kepada juru kirim atau perusahaan angkutan.
Saat penyerahan barang sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, tercermin dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam bentuk
pengakuan sebagai piutang atau penghasilan dengan penerbitan faktur penjualan
sebagai sumber dokumennya.
Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau
penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan
dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait
dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan
sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. Termasuk dalam pengertian faktur penjualan adalah dokumen lain yang
berfungsi sama dengan faktur penjualan.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena
Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta
perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar
penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Namun demikian, dalam hal penyerahan hak
atas barang tidak bergerak tersebut secara nyata telah terjadi meskipun surat
atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak belum ditandatangani,
penyerahan Barang Kena Pajak dianggap telah terjadi.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "persediaan" adalah persediaan
bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses,
persediaan barang setengah jadi, dan/ atau persediaan barang jadi.
Huruf
e
Yang dimaksud dengan "penggabungan usaha, pengambilalihan usaha, pemecahan
usaha, dan peleburan usaha" adalah penggabungan usaha, pengambilalihan usaha,
pemisahan usaha, dan peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Yang dimaksud dengan "pemekaran
usaha" adalah pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan
pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi
badan usaha yang lama.
Yang dimaksud dengan "perubahan bentuk usaha" adalah
berubahnya bentuk usaha yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak, misalnya
semula bentuk usaha Pengusaha Kena Pajak adalah Commanditaire Vennotschap
kemudian berubah menjadi Perseroan Terbatas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai
tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian
atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan
saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan
Faktur Pajak.
Namun demikian, dalam praktik kegiatan usaha dan berdasarkan
prinsip akuntansi yang berlaku umum, saat pengakuan piutang atau penghasilan,
atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat
mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik
sebagian atau seluruhnya. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait
dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan dapat
ditetapkan sebagai saat penyerahan jasa yang menjadi dasar saat terutangnya
Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mensinkronisasikan
saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dengan praktik yang lazim terjadi dalam
kegiatan usaha yang tercermin dalam praktik pencatatan atau pembukuan
berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara
konsisten oleh Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat
(7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup
jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup
jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Secara prinsip Faktur Pajak
harus dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, namun demikian karena
suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan Faktur Pajak. Atas
keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1)
huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang
mengenai Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan.
Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan
Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak, perlu adanya pembatasan jangka
waktu penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga
untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha
yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang
digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat
pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan
harus memenuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara
konsisten.
Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak dalam ketentuan ini adalah
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang
diterbitkan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak.
Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi
kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai
perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan
Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/
atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak.
Contoh saat pembuatan
Faktur Pajak:
-
Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak.
Contoh 1:
PT
Aman menyerahkan Barang Kena Pajak secara langsung kepada Tuan Igna pada tanggal
15 Mei 2011. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak tersebut PT Aman
menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 15 Mei 2011.
Contoh 2:
PT Berkah
yang berkedudukan di Jakarta menjual Barang Kena Pajak kepada PT Ceria di
Surabaya dengan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (fob
shipping point). Barang Kena Pajak dikeluarkan dari gudang PT Berkah dan dikirim
ke gudang PT Ceria pada tanggal 10 Juni 2011 dengan menggunakan perusahaan
ekspedisi dengan tanggal DO (delivery order) 10 Juni 2011. Barang diterima oleh
PT Ceria pada tanggal 12 Juni 2011. Atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut, PT Berkah menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 10 Juni 2011.
Dalam
hal pada contoh 1 dan contoh 2 di atas, faktur penjualan (invoice) diterbitkan
tidak pada tanggal penyerahan secara langsung atau pada saat diserahkan kepada
juru kirim atau pengusaha jasa angkutan karena kondisi tertentu, maka Faktur
Pajak wajib dibuat pada saat penerbitan faktur penjualan. Penerbitan faktur
penjualan tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dan dilakukan secara konsisten.
Contoh 3:
PT Cantik di Jakarta
menjual Barang Kena Pajak kepada PT Sentosa di Semarang dengan syarat pengiriman
(term of delivery) franco gudang pembeli (fob destination). Barang dikeluarkan
dari gudang PT Cantik dan dikirim ke gudang PT Sentosa pada tanggal 12 Agustus
2011 dengan menggunakan perusahaan ekspedisi. Barang diterima oleh PT Sentosa
pada tanggal 13 Agustus 2011. PT Cantik menerbitkan faktur penjualan (invoice)
pada tanggal 16 Agustus 2011. Atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, PT
Cantik wajib menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 13 Agustus 2011 atau paling
lama tanggal 16 Agustus 2011.
- Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak.
Contoh 1:
Perjanjian
jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2011.
Perjanjian
penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau
ditandatangani tanggal 1 September 2011.
Faktur Pajak harus diterbitkan pada
tanggal 1 September 2011.
Bila sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau
ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam
penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus diterbitkan pada
saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan
pembeli atau penerima barang.
Contoh 2:
Rumah siap pakai dijual dan
diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan
pada tanggal
1 Agustus 2011.
Bila sebelum surat atau akte tersebut
dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada
dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada
saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan
pembeli atau penerima barang.
Contoh 3:
Rumah siap pakai dijual dan
diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Perjanjian jual beli
ditandatangani tanggal 1 September 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada
tanggal 1 Agustus 2011.
- Penyerahan Jasa Kena Pajak.
Contoh 1:
PT Semangat menyewakan satu
unit ruko kepada PT Diatetupa dengan masa kontrak selama 12 (dua belas) tahun.
Dalam
kontrak disepakati antara lain:
- PT Diatetupa mulai menggunakan ruko tersebut pada tanggal 1 September 2011.
- Nilai kontrak sewa selama 12 (dua belas) tahun sebesar Rp 120.000.000,00.
- Pembayaran sewa adalah tahunan dan disepakati dibayar setiap tanggal 29
September dengan pembayaran sebesar Rp10.000.000,00 per tahun.
Pada tanggal 29 September 2011 PT Diatetupa melakukan pembayaran sewa untuk
tahun pertama. Atas penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut, PT Semangat wajib
menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 29 September 2011 dengan Dasar Pengenaan
Pajak sebesar Rp10.000.000,00.
Contoh 2:
PT Toryung mengontrak Firma
Cerah Konsultan untuk memberikan jasa konsultasi manajemen dan pelatihan kepada
staff marketing PT Toryung selama 6 (enam) bulan dengan nilai kontrak sebesar
Rp60.000.000,00. Pembayaran jasa konsultasi akan dilakukan setiap bulan. Firma
Cerah Konsultan mulai memberikan jasa konsultasi sejak tanggal 1 Juli 2011. Pada
tanggal 10 Agustus 2011, Firma Cerah Konsultan mengajukan tagihan untuk
pembayaran jasa konsultasi bulan Juli sebesar Rp10.000.000,00. PT Toryung
melakukan pembayaran atas tagihan tersebut pada tanggal 20 Agustus 2011. Atas
transaksi tersebut, Firma Cerah Konsultan wajib menerbitkan Faktur Pajak pada
tanggal 10 Agustus 2011 dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp10.000.000,00
(sesuai dengan nilai tagihan) meskipun pembayaran baru diterima tanggal 20
Agustus 2011.
Contoh 3:
PT Setiyakom adalah suatu perusahaan jasa telekomunikasi.
PT
Setiyakom melakukan penagihan kepada pelanggan sesuai dengan periode pemakaian
selama 1 (satu) bulan.
Pengumpulan data-data pemakaian dari pelanggan
memerlukan waktu beberapa hari, sehingga faktur penjualan baru
dapat
diterbitkan beberapa hari setelahnya.
Misalnya untuk pemakaian oleh
pelanggan pada tanggal 1 - 30 Juni 2011, PT Setiyakom menerbitkan faktur
penjualan
(melakukan penagihan) pada tanggal 5 Juli 2011.
Untuk kasus ini,
Faktur Pajak diterbitkan pada saat penyerahan jasa tersebut dinyatakan/dicatat
sebagai piutang/penghasilan, yaitu pada akhir periode pemakaian (30 Juni 2011)
atau paling lama pada saat diterbitkannya faktur penjualan (5 Juli
2011).
Matriks saat penerbitan Faktur Pajak untuk beberapa contoh
penyerahan di bidang jasa telekomunikasi adalah sebagai
berikut:
No. |
No Periode Pemakaian/ penyerahan Jasa
Kena Pajak |
Periode pengakuan penghasilan |
Saat diakui penghasilan |
Penerbitan faktur penjualan |
Faktur Pajak diterbitkan paling
lama: |
la |
1 - 30 Juni 2011 |
1 - 30 Juni 2011 |
Juni 2011 |
30 Juni 2011 |
30 Juni 2011 |
lb |
1 - 30 Juni 2011 |
1 - 30 Juni 2011 |
Juni 2011 |
5 Juli 2011 |
5 Juli 2011 |
lc |
1 - 30 Juni 2011 |
1 - 30 Juni 2011 |
Juni 2011 |
31 Juli 2011 |
31 Juli 2011 |
|
|
|
|
|
|
2 |
26 Mei - 25 Juni 2011 |
26 Mei - 25 Juni 2011 |
Juni 2011 |
6 Juli 2011 |
6 Juli 2011 |
|
|
|
|
|
|
3 |
16 Mei - 15 Juni 2011 |
16 Mei - 15 Juni 2011 |
Mei 2011 |
20 Juni 2011 |
20 Juni 2011 |
|
|
|
|
|
|
4 |
16 Mei - 15 Juni 2011 |
16 Mei - 15 Juni 2011 |
Juni 2011 |
20 Juni 2011 |
20 Juni 2011 |
|
|
|
|
|
|
5 |
16 Mei - 15 Juni 2011 |
16 -31 Mei 2011 |
Mei 2011 |
31 Mei 2011 |
31 Mei 2011 |
|
|
1-15 Juni 2011 |
Juni 2011 |
15 Juni 2011 |
15 Juni 2011 |
- Penyerahan sebagian tahap pekerjaan (pembayaran termin) Atas penyerahan
sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborong bangunan atau
barang tidak bergerak lainnya, saat penerbitan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang
tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu.
Sebelum jasa
pemborong itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di
muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian
penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian
pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
11 ayat (2) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai
terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau
Kontraktor.
Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut
selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima
jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa
Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut
belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Contoh:
- Tanggal 1 April 2011, perjanjian pemborongan ditandatangani dan diterima
uang muka sebesar 20%.
- Tanggal 1 Mei 2011, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1.
- Tanggal 1 Juni 2011, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.
- Tanggal 20 Juni 2011, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.
- Tanggal 25 Agustus 2011, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak
bergerak diserahkan.
- Tanggal 1 September 2011, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95%
dari harga borongan.
- Tanggal 1 Maret 2012, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa
pemborongan.
Pada angka 1 sampai dengan angka 4 Pajak Pertambahan Nilai terutang pada
tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7
Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Agustus 2011 atau saat jasa
pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan
diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan
angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan
terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Cara penghitungan sebagaimana tersebut
di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada dasarnya Faktur Pajak harus
dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak, namun demikian karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan
Faktur Pajak. Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai
Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang mengenai
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas
waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya
pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu
penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk
menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang
digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang
digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.
Termasuk dalam pengertian
Faktur Pajak dalam ketentuan ini adalah dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak yang diterbitkan atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Ayat (4)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah.
Ayat (5)
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/ atau penerima
Jasa Kena Pajak dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan lebih dari
3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah, sehingga Pajak
Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak dapat dikreditkan
sebagai Pajak Masukan.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan
cara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, yang pada umumnya dilakukan
kepada/untuk konsumen akhir, pada dasarnya merupakan kegiatan penyerahan secara
eceran. Oleh karena itu, Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak secara
eceran kepada konsumen akhir yang dibuat tanpa mencantumkan identitas pembeli
serta nama dan tanda tangan Pengusaha Kena Pajak penjual tidak akan dikenakan
sanksi atau diterbitkan Surat Tagihan Pajak, karena termasuk dalam pengertian
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 Undang-Undang
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Contoh tempat penjualan
eceran yaitu toko dan kios.
Yang dimaksud dengan "konsumen akhir" adalah
pembeli yang mengkonsumsi secara langsung barang tersebut, dan tidak digunakan
atau dimanfaatkan untuk kegiatan produksi atau perdagangan.
Namun demikian
Pengusaha Kena Pajak tetap diperkenankan untuk menerbitkan Faktur Pajak secara
lengkap meskipun penyerahan Barang Kena Pajak dilakukan kepada konsumen akhir,
misalnya dalam hal pembeli sebagai konsumen akhir adalah Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha atau
pekerjaan utamanya tidak melakukan usaha perdagangan secara eceran (pabrikan
atau distributor) tetapi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran,
maka atas penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran tersebut Pengusaha Kena
Pajak dapat menerbitkan Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai
identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.
Ayat (3)
Contoh
tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir yaitu gerai dan
kios.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup
jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5271